tag:blogger.com,1999:blog-32429399527418841042024-03-18T21:44:41.365-07:00Ahlan Wa Sahlan...Mushalla Az-Zhilal....
Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
AR-RANIRY DARUSSALAM BANDA ACEH...Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-17348209113607522432010-03-09T10:06:00.000-08:002010-03-09T10:08:51.168-08:00URGENSI HIJAB<p style="text-align: justify;" dir="ltr">“Wahai saudari muslimah, mari menuju gerbang surga bersama. Penuhi kewajibanmu kepada Allah , kenakan perhiasanmu, kenakan hijabmu, dan berlombalah dalam beramal shaleh untuk menggapai surga Allah.”</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Kenapa kita harus menggunakan hijab (kerudung)? Ini pertanyaan yang bagus bukan, dan tentunya ada jawaban yang bagus pula. Allah telah memerintahkan kita sesuatu yang baik buat kita, dan Allah melarang kita dari sesuatu yang itu buruk buat kita. Allah perintahkan wanita muslim untuk mengenakan hijab ketika ia keluar rumah atau ketika ada pria asing. Jadi mengenakan hijab adalah sumber kebaikan buat kalian -muslimah- untuk berbagai alasan, di antaranya: </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Kalian telah mentaati Allah . Ketika mengenakan hijab kalian mematuhi perintah Rabb kalian dan kalian bisa mengharapkan pahala yang besar.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Perintah mengenakan hijab adalah perlindungan Allah terhadap kecantikan alami kalian. Kalian begitu berharga untuk dipamerkan kepada setiap pria yang melihat. Hijab juga penjagaan Allah terhadap kesucian kalian. Allah mensucikan hati dan pikiran kalian melalui hijab. Allah mempercantik luar dalam roman kalian. Pada bagian luar, hijab kalian mencerminkan kemurnian, kesucian, kesederhanaan, rasa malu, ketenangan, daya tarik, dan kepatuhan terhadap Allah . Untuk bagian dalamnya, akan mengeratkan hal yang sama.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Allah memberi kefemininan melalui hijab. Muslimah adalah wanita yang menghormati kewanitaannya. Allah menginginkan kalian untuk dihormati oleh orang lain, untuk itu hormatilah diri kalian sendiri.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"><br />Allah menampakkan martabatmu melalui hijab. Ketika pria asing melihatmu, dia akan menghormatimu karena dia melihat bahwa kalian menghormati diri kalian. Allah menjaga kehormatanmu 100% melalui hijab. Laki-laki tidak akan memandangmu dengan cara yang sensual, mereka tidak akan mendekatimu dengan cara yang seperti itu, dan bahkan mereka tidak akan berbicara kepadamu dengan cara yang demikian. Lebih dari itu, laki-laki akan memberikan penghargaan yang tinggi terhadapmu dengan cara hanya memandangmu sekilas-sekilas, seperti pandangan budak terhadap rajanya.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Allah memberimu derajat yang tinggi melalui hijab. Kalian terpandang, tidak direndahkan karena kalian tertutupi tidak telanjang.<br />Allah memberikan persamaan sebagai muslimah melalui hijab. Rabbmu melimpahkan persamaan yang sederajat dengan laki-laki sebagai rekan dalam hidup dan memberimu hak dan kebebasan sepenuhnya. Dan ini bisa kalian utarakan dengan mengenakan hijab.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Allah memberikanmu peran sebagai muslimah dengan hijab. Kalian adalah seseorang dengan tugas yang penting. Kalian tunjukan bimbingan dan arahan melalui hijab. Kalian adalah seseorang yang mana masyarakat melihatnya dengan serius.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Allah utarakan keindependenanmu melalui hijab. Kalian menetapkan secara jelas bahwa kalian adalah hamba yang berbakti kepada Rabb Yang Maha Agung. Kalian tidak akan patuh kepada seorangpun dan mengikuti cara yang lain. Kalian bukan budak lelaki manapun, bukan budak sebuah negara. Kalian bebas dan mandiri dari semua sistem buatan manusia.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Allah memberi kebebasan bergerak dan berekspresi melalui hijab. Kalian bisa bergerak dan berkomunikasi tanpa rasa takut gangguan. Hijab memberi kepercayaan diri yang unik.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Allah ingin memperlakukan kaum muslimah dengan kebaikan, Allah ingin keindahanmu terpelihara dan tersimpan hanya untuk seorang pria, yakni suamimu. Allah membantumu menikmati pernikahan melalui hijab, karena kamu hanya menyajikan keindahanmu kepada satu orang pria. Suamimu akan bertambah mencintaimu, dia akan lebih mengharapkanmu, dia lebih menghargaimu dan lebih menghormatimu. Maka hijab telah menambah kesuksesan hubungan pernikahan kalian.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Dengan demikian, wanita muslim yang berhijab akan berderajat tinggi dan tidak direndahkan, akan bebas dan tidak dapat ditaklukkan, akan suci dan tidak ternodai, akan merdeka dan tidak diperbudak, akan terlindungi dan tidak telanjang, akan dihormati dan tidak akan jadi bahan tertawaan, akan percaya diri dan tidak gelisah, dan menjadi pelaksana hukum bukan pendosa.</p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr"> </p> <p style="text-align: justify;" dir="ltr">Wahai saudari muslimah, mari menuju gerbang surga bersama. Penuhi kewajibanmu kepada Allah , kenakan perhiasanmu, kenakan hijabmu, dan berlombalah dalam beramal shaleh untuk menggapai surga Allah.</p><p style="text-align: justify;" dir="ltr">(di sadur dari hasmi)<br /></p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-23897797534711456952010-02-27T20:26:00.001-08:002010-02-27T20:30:42.342-08:00Hukum Cadar<h1>Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (1)</h1> <p>Pembahasan ini diambil dari rubrik tanya jawab majalah As Sunnah dan kami mendapatkan naskah ini dari kumpulan artikel Ustadz Kholid Syamhudi <em>jazaahullahu khairan</em>. Untuk memudahkan dalam pembacaan, pembahasan ini akan kami bagi menjadi 5 bagian yaitu dalil para ulama yang mewajibkan (2 bagian), dalil para ulama yang mengatakan tidak wajib (2 bagian) dan kesimpulan (1 bagian). Kami sarankan pada pembaca untuk menyimak dengan seksama dalil-dalil yang dipaparkan dalam artikel ini. Selamat membaca…</p> <p><span id="more-111"></span><strong>Pertanyaan:</strong></p> <p><em>Apakah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita, wajib atau tidak?</em></p> <p><strong>Jawaban:</strong></p> <p>Banyak pertanyaan yang ditujukan kepada kami, baik secara langsung maupun lewat surat, tentang masalah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita. Karena banyak kaum muslimin belum memahami masalah ini, dan banyak wanita muslimah yang mendapatkan problem karenanya, maka kami akan menjawab masalah ini dengan sedikit panjang. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan wajib, yang lain menyatakan tidak wajib, namun merupakan keutamaan. Maka di sini -<em>insya Allah</em>- akan kami sampaikan hujjah masing-masing pendapat itu, sehingga masing-masing pihak dapat mengetahui hujjah (argumen) pihak yang lain, agar saling memahami pendapat yang lain.</p> <p><strong>Dalil yang Mewajibkan</strong></p> <p>Berikut ini akan kami paparkan secara ringkas dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita.</p> <p><strong>Pertama</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ</p> <p><em>“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.”</em> (QS. An Nur: 31)</p> <p>Allah ta’ala memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki hukum tujuan. (Lihat <em>Risalah Al-Hijab</em>, hal 7, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Kedua</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا</p> <p><em>“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.”</em> (QS. An Nur: 31)</p> <p>Ibnu Mas’ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: <em>“(yaitu) pakaian”</em> (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al Adawi, <em>Jami’ Ahkamin Nisa’</em> IV/486). Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.</p> <p><strong>Ketiga</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ</p> <p><em>“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”</em> (QS. An Nur: 31)</p> <p>Berdasarkan ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah lebih wajib! Karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah? (Lihat <em>Risalah Al-Hijab</em>, hal 7-8, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Keempat</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ</p> <p><em>“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”</em> (QS. An Nur: 31)</p> <p>Allah melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekedar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan. (Lihat <em>Risalah Al-Hijab</em>, hal 9, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Kelima</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ</p> <p><em>“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”</em> (QS. An Nur: 60)</p> <p>Wanita-wanita tua dan tidak ingin kawin lagi ini diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah mereka. (Lihat <em>Risalah Al-Hijab</em>, hal 10, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p>Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah <em>“Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka.”</em> (QS An Nur:60): <em>“(Yaitu) jilbab”</em>. (Kedua riwayat ini dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam <em>Jami’ Ahkamin Nisa</em> IV/523)</p> <p>Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: <em>“Kami menemui Hafshah binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah merahmati Anda, Allah telah berfirman,</em></p> <p>وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ</p> <p><em>“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.”</em> (QS. An-Nur: 60)</p> <p>Yang dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada kami: <em>“Apa firman Allah setelah itu?”</em> Kami menjawab:</p> <p>وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ</p> <p><em>“Dan jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”</em> (QS. An-Nur: 60)</p> <p>Dia mengatakan, <em>“Ini menetapkan jilbab.”</em> (Riwayat Al-Baihaqi. Lihat <em>Jami’ Ahkamin Nisa</em> IV/524)</p> <p><strong>Keenam</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ</p> <p><em>“Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.”</em> (QS. An-Nur: 60)</p> <p>Ini berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang membuka wajahnya, berkehendak menampakkan perhiasan dan kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak dapat dijadikan sandaran hukum. (Lihat <em>Risalah Al-Hijab</em>, hal 11, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, penerbit: Darul Qasim).</p> <p><strong>Ketujuh</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا</p> <p><em>“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”</em> (QS. Al Ahzab: 59)</p> <p>Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas <em>radhiallahu ‘anhu</em> berkata, <em>“Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.”</em> (Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat <em>Jami’ Ahkamin Nisa</em> IV/513)</p> <p>Qatadah berkata tentang firman Allah ini (QS. Al Ahzab: 59), “<em>Allah memerintahkan para wanita, jika mereka keluar (rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali dan tidak diganggu.”</em> (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam <em>Jami’ Ahkamin Nisa</em> IV/514)</p> <p>Diriwayatkan Ibnu Abbas <em>radhiallahu ‘anhu</em> berkata, <em>“Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, tetapi tidak menutupinya.”</em> (Riwayat Abu Dawud, Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shahih. Lihat <em>Jami’ Ahkamin Nisa</em> IV/514)</p> <p>Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis. (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam<em> Jami’ Ahkamin Nisa</em> IV/513)</p> <p>As-Suyuthi berkata, <em>“Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.”</em> (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 51, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p>Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil:</p> <ol><li>Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.</li><li>Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata <em>idna’</em> (pada ayat tersebut يُدْنِينَ -ed) yang ditambahkan huruf (عَلَي) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.</li><li>Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.</li><li>Dalam firman Allah: <em>“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”</em>, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.</li><li>Dalam firman Allah: <em>“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”</em> Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu.</li></ol> <p>(Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 52-56, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kedelapan</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala:</p> <p>لاَّ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآ أَبْنَآئِهِنَّ وَلآ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَآئِهِنَّ وَلاَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا</p> <p><em>“Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”</em> (QS. Al Ahzab: 55)</p> <p>Ibnu Katsir berkata, <em>“Ketika Allah memerintahkan wanita-wanita berhijab dari laki-laki asing (bukan mahram), Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib berhijab dari karib kerabat ini.”</em> Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing adalah termasuk menutupi wajahnya.</p> <p><strong>Kesembilan</strong>, firman Allah:</p> <p>وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ</p> <p><em>“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”</em> (QS. Al Ahzab: 53)</p> <p>Ayat ini jelas menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati laki-laki. Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi <em>shallallahu ‘alihi wa sallam</em> menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi istri-istri mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan. (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal: 46-49, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kesepuluh</strong>, firman Allah:</p> <p>يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {32} وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا</p> <p><em>“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”</em> (QS. Al Ahzab: 32-33)</p> <p>Ayat ini ditujukan kepada para istri Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu untuk menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai wanita mukmin. Dari kedua ayat ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup wajah) bagi wanita dari beberapa sisi:</p> <ol><li>Firman Allah: <em>“Janganlah kamu tunduk dalam berbicara”</em> adalah larangan Allah terhadap wanita untuk berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan hijab.</li><li>Firman Allah: <em>“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu”</em> merupakan perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah dari laki-laki asing.</li><li>Firman Allah: <em>“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”</em> adalah larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk menampakkan wajah.</li></ol><br /><h1>Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (2)</h1> <p><strong>Kesebelas</strong>, Ummu ‘Athiyah berkata:</p> <p>أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا</p> <p><em>“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.””</em> (HR. Bukhari dan Muslim)</p> <p><span id="more-112"></span>Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat <em>Risalah Al Hijab</em>, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Keduabelas</strong>, ‘Aisyah <em>radhiallahu ‘anha</em> berkata:</p> <p>كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ</p> <p><em>“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.”</em> (HR. Bukhari dan Muslim)</p> <p>Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat <em>Risalah Al Hijab</em>, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Ketiga belas</strong>, Perkataan ‘Aisyah: <em>“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.”</em> Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud <em>radhiallahu ‘anhu</em>.</p> <p>Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat <em>Risalah Al Hijab</em>, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Keempat belas</strong>, sabda Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>:</p> <p>مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ</p> <p><em>“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.”</em> (HR. Tirmidzi, dan lainnya)</p> <p>Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. (Lihat <em>Risalah Al Hijab</em>, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Kelima belas</strong>, sabda Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>:</p> <p>إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ</p> <p><em>“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.”</em> (HR. Tirmidzi dan lainnya)</p> <p>Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat <em>Risalah Al Hijab</em>, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Keenam belas</strong>, ‘Aisyah berkata:</p> <p>كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ</p> <p><em>“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.”</em> (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)</p> <p>Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat <em>Risalah Al Hijab</em>, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Ketujuh belas</strong>, Asma’ binti Abi Bakar berkata: <em>“Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.”</em> (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: <em>“Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”</em>, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)</p> <p>Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kedelapan belas</strong>, ‘Aisyah berkata:</p> <p>لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا</p> <p><em>“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.”</em> (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)</p> <p>Ibnu Hajar berkata (<em>Fathul Bari</em> 8/490): <em>“Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.”</em> (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kesembilan belas</strong>, Dari Urwah bin Zubair:</p> <p>عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ</p> <p><em>Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.”</em> (HR. Bukhari dan lainnya)</p> <p>Ibnu Hajar berkata (<em>Fathul Bari</em> 9/152): <em>“Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”</em></p> <p><strong>Kedua puluh,</strong> sabda Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>:</p> <p>الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ</p> <p><em>“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.”</em> (HR. Tirmidzi dan lainnya)</p> <p>Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kedua puluh satu</strong>, sabda Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>:</p> <p>إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ</p> <p><em>“Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).”</em> (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)</p> <p>Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kedua puluh dua</strong>, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa <em>Haditsul Ifki</em>:</p> <p>وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي</p> <p><em>“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.”</em> (HR. Muslim)</p> <p>Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kedua puluh tiga</strong>, Aisyah berkata:</p> <p>خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ</p> <p><em>“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!”</em> (HR. Muslim)</p> <p>Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat <em>Jami Ahkamin Nisa’</em> IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).</p> <p><strong>Kedua puluh empat</strong>, terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Kedua puluh lima</strong>, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat <em>Risalah Al Hijab</em>, hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).</p> <p><strong>Kedua puluh enam</strong>, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:</p> <ol><li>Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.</li><li>Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).</li><li>Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.</li></ol> <p>(Lihat <em>Hirasah Al-Fadhilah</em>, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).</p> <p><strong>Ringkasan Dalil-Dalil di Atas</strong></p> <p>Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa point:</p> <ol><li>Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.</li><li>Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.</li><li>Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.</li><li>Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.</li><li>Ijma yang mereka nukilkan.</li><li>Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.</li><li>Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.</li></ol> <p><strong>Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar</strong></p> <p>Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.</p><p><br /></p><h1>Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (3)</h1> <p>Pada edisi yang lalu telah kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita. Sekarang -<em>insya Allah</em>- akan disampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkannya.</p> <p><strong>Dalil-Dalil yang Tidak Mewajibkan</strong></p> <p>Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.</p> <p><strong>Pertama</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala,</p> <p>وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا</p> <p><em>“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.”</em> (QS. An Nuur: 31)</p> <p><span id="more-113"></span>Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, <em>“Wajah dan telapak tangan.”</em> (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya <em>Jami’ Ahkamin Nisa</em>. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. <em>Wallahu a’lam</em>).</p> <p>Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 59-60). Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.</p> <p><strong>Kedua</strong>, firman Allah,</p> <p>وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ</p> <p><em>“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”</em> (QS. An Nur: 31)</p> <p>Ibnu Hazm <em>rahimahullah</em> berkata, <em>“Allah ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.”</em> (<em>Al Muhalla</em> III/216-217, Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 73).</p> <p>Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam <em>An Nihayah</em> karya Imam Ibnul Atsir, <em>Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim</em> karya Al Hafizh Ibnu Katsir, <em>Tafsir Fathu Al Qadir</em> karya Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 72-73).</p> <p><strong>Ketiga</strong>, firman Allah subhanahu wa ta’ala,</p> <p>قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ</p> <p><em>“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”</em> (QS. An Nur: 30,31)</p> <p>Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,</p> <p>عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ</p> <p><em>Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.”</em> (HR. Bukhari dalam <em>Adabul Mufrad</em> no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat <em>Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah</em> 6/11-13)</p> <p>Juga sabda Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> kepada Ali <em>radhiallahu ‘anhu</em>,</p> <p>يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ</p> <p><em>“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).”</em> (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 77)</p> <p>Jarir bin Abdullah berkata,</p> <p>سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ</p> <p><em>Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.”</em> (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 78)</p> <p>Al Qadhi ‘Iyadh berkata, <em>“Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.”</em> (<em>Adab Asy Syar’iyyah</em> I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 77).</p> <p><strong>Keempat</strong>, Diriwayatkan dari ‘Aisyah <em>radhiallahu ‘anha</em>, dia berkata,</p> <p>أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا</p> <p><em>Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.</em> (HR. Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, <em>“Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.”</em> Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, <em>“Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”</em>)</p> <p>Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 58).</p> <p>(1) Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda. <em>“Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.”</em> (Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. <em>Wallahu a’lam</em>).</p> <p>(2) Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, <em>“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”</em></p> <p>Al-Baihaqi menyatakan, <em>“Sanadnya dha’if.”</em> Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 59).</p> <p>(3) Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 59).</p> <p><strong>Kelima</strong>, Jabir bin Abdillah berkata,</p> <p>شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ</p> <p><em>Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal.</em> (HSR Muslim, dan lainnya)</p> <p>Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh <em>min safilatin nisa’</em> (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh <em>sithatin nisa’</em> (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. <em>Wallahu a’lam</em>).</p> <p><strong>Keenam</strong>, Ibnu Abbas berkata,</p> <p>أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …</p> <p><em>“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya…”</em> (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)</p> <p>Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em>, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, <em>“Maka Abbas berkata kepada Rasulullah ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan (menggoda) keduanya”</em> (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani menyatakan, <em>“Sanadnya bagus”</em>)</p> <p>Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).</p> <p>Ibnu Hazm <em>rahimahullah</em> berkata, <em>“Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”</em></p> <p>Ibnu Baththal <em>rahimahullah</em> mengatakan, <em>“Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.”</em> (<em>Fathu Al-Bari</em> XI/8)</p> <p>Perkataan Ibnu Baththal <em>rahimahullah</em> tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syaikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. (Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar). Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunah). Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, di hadapan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 61-64).</p><p><br /></p><h1>Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (4)</h1> <p><strong>Ketujuh</strong>, Sahl bin Sa’d berkata,</p> <p>أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…</p> <p><em>“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya……”</em> (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)</p> <p><span id="more-114"></span>Al Hafizh Ibnu Hajar <em>rahimahullah</em> menyatakan, <em>“Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi (pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.”</em> (<em>Fathul Bari</em> IX/210).</p> <p><strong>Kedelapan</strong>, ‘Aisyah <em>radhiallahu ‘anha</em> berkata,</p> <p>كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ</p> <p><em>“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.”</em> (HR. Bukhari dan Muslim)</p> <p>Dalam riwayat lain,</p> <p>وَمَا يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ</p> <p><em>“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain.”</em> (HR. Abu Ya’la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 66)</p> <p>Dari perkataan ‘Aisyah, <em>“Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.”</em> dapat dipahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 65).</p> <p><strong>Kesembilan</strong>, ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,</p> <p>أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …</p> <p><em>“Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…”</em> (HR. Muslim)</p> <p>Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Karena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 65).</p> <p>Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 66-67).</p> <p><strong>Kesepuluh</strong>, Abdurrahman bin ‘Abis,</p> <p>سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ</p> <p><em>“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah Anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya.”</em> (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam <em>Kitab Jum’ah</em>)</p> <p>Ibnu Hazm <em>rahimahullah</em> berkata, <em>“Inilah Ibnu Abbas -di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”</em></p> <p>Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> membacakan ayat <em>bai’atun nisa’</em> (surat Al Mumtahanah: 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menikahi Zainab binti Jahsy (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 67, 75).</p> <p><strong>Kesebelas</strong>, dari Subai’ah binti Al-Harits,</p> <p>أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ</p> <p><em>Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…”</em> (HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)</p> <p>Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 69).</p> <p><strong>Keduabelas</strong>, Atha bin Abi Rabah berkata,</p> <p>قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا</p> <p><em>Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”. Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”. Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan surga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya.</em> (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)</p> <p><strong>Ketiga belas</strong>, Ibnu Abbas berkata,</p> <p>كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )</p> <p><em>Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat),</em></p> <p>وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ</p> <p><em>“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripadamu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian (daripadamu).”</em> (QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam A<em>sh Shahihah</em> no. 2472. Lihat Jilbab <em>Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 70).</p> <p>Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.</p> <p><strong>Keempat belas</strong>, Ibnu Mas’ud berkata,</p> <p>رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا</p> <p><em>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu membuat beliau terpesona, kemudian beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapa pun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu membuatnya terpesona, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita itu.”</em> (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam <em>Ash-Shahihah</em> no. 235)</p> <p>Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.</p> <p><strong>Kelima belas</strong>, Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,</p> <p>دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ</p> <p><em>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.”</em> (HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab <em>Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 72)</p> <p><strong>Keenam belas</strong>, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiah yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syaikh Al Albani dalam <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em> (hal. 96-103). Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.</p> <p><strong>Ketujuh belas</strong>, anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan di antara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Di antara ulama besar mazhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, <em>“Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.”</em> (Lihat <em>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</em>, hal. 7-9).</p> <p><strong>Kedelapan belas</strong> (tambahan), dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup. Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat jilbab. Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapusnya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.</p><p><br /></p><h1>Hukum Cadar: Kesimpulan Antara 2 Pendapat Ulama (5)</h1> <p>Pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh <em>ummahatul mukminin</em> (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.</p> <p><span id="more-115"></span><br />Kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi <em>shallallahu ‘alaihin wa sallam</em>, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.</p> <p>Ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.</p> <p>Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.</p> <p>Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. <em>Wallahu a’lam bishshawwab.</em></p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-64833683886351764382010-02-27T20:19:00.000-08:002010-02-27T20:21:50.010-08:00AKHLAK DAN NASEHAT<h1>Saudariku, Berjilbablah Sesuai Ajaran Nabimu!</h1> <p>Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, <em>“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”</em> (Al Baqoroh: 216)<em>.</em> Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.</p> <p><span id="more-13"></span> <strong>Perintah dari Atas Langit</strong></p> <p>Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, <em>“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.”</em> (Al Ahzab: 59)</p> <p><strong>Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at</strong></p> <p>Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom <em>(<strong>bukan ‘muhrim’</strong>, karena muhrim berarti orang yang berihrom)</em> yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.</p> <p><strong>Pertama</strong></p> <p>Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31)<em>.</em> Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.</p> <p><strong>Kedua</strong></p> <p>Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…</p> <p><strong>Ketiga</strong></p> <p>Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.</p> <p><strong>Keempat</strong></p> <p>Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi <em>shollallohu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.”</em> (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! <em>Wallohul musta’an.</em></p> <p><strong>Kelima</strong></p> <p>Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)</p> <p><strong>Keenam</strong></p> <p>Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.</p> <p><strong>Ketujuh</strong></p> <p>Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah <em>rodhiyallohu ‘anha</em> yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? <em>Wallohul muwaffiq.</em></p> <p>(Disarikan oleh Abu Mushlih dari <em>Jilbab Wanita Muslimah</em> karya Syaikh Al Albani)</p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-56927869278457495522010-02-22T05:59:00.001-08:002010-02-22T06:27:29.353-08:00muslimah/akhwat<div style="text-align: center;"><span style=""></span><br /><span style="font-weight: bold;"><span style="color: rgb(51, 51, 255);">WANITA AHLI SURGA DAN CIRI-CIRINYA</span></span><br /><br /><br />Dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br /></div><div class="post-body entry-content"><p>Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah <span style="font-weight: bold;">wanita</span>-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)<br /><br />ok.. ini adalah <span style="font-weight: bold;">Artikel</span> pertama untuk temen - temen <span style="font-weight: bold;">anak muda</span> yang <span style="font-weight: bold;">MUSLIMAH/AKHWAT</span>. Ya yang tua juga boleh....<br /><br />Kutipan Hadits di atas menggambarkan salah satu ciri - ciri wanita surga. Sahabat <span style="font-weight: bold;">AZH-ZHILAL</span> khususnya <span style="font-weight: bold;">muslimah</span><span style="font-weight: bold;">/AKHWAT</span> mau gaK jadi kaya gitu ? Pasti mau kan??<br /><br />Ok, ayo kita sama - sama belajar gimana sih <span style="font-weight: bold;">Muslimah/AKHWAT</span> surga itu ?<br /><br /><span style=""><br />* Apakah Ciri-Ciri <span style="font-weight: bold;">Wanita Surga</span> :</span><br /><br />Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?<br /><br />Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.<br /><br /><br /><span class="fullpost"><br />Tentunya setiap wanita <span style="font-weight: bold;">Muslimah/AKHWAT</span> ingin menjadi <span style="font-weight: bold;">ahli Surga</span>. Pada hakikatnya <span style="font-weight: bold;">wanita ahli Surga</span> adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri <span style="font-weight: bold;">wanita ahli Surga</span> adalah :<br /><br />1. Bertakwa.<br /><br />2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.<br /><br />3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.<br /><br />4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.<br /><br />5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.<br /><br />6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.<br /><br />7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.<br /><br />8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.<br /><br />9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.<br /><br />10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.<br /><br />11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.<br /><br />12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).<br /><br />13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.<br /><br />14. Berbakti kepada kedua orang tua.<br /><br />15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.<br /><br />Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :<br /><br />“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13).<br /><br />sahabat <span style="font-weight: bold;">akhwat mushalla azh-zhilal </span> tu dia yang dimaksud <span style="font-weight: bold;">Muslimah</span><br /><br />So, untuk para calon bidadari....<span style="font-weight: bold;">terkhusus akhwat mushalla-azh-zhilal</span> Ayo kuatkan Iman kalian...<br />Jangan lupa baca <span style="font-weight: bold;">Artikel Muslimah</span> yang lainnya...<br />Wallahu A’lam Bis Shawab.<br /><br />(Dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri, judul asli Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya</span></p></div>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-39452908154113931512010-02-22T05:25:00.000-08:002010-02-22T05:31:38.416-08:00HADITS<center><span style="color:#0000ff;"><strong>TADWIN AS-SUNNAH</strong></span><br /></center> <center>(Oleh : Muhammad Yani Abdul Karim, Lc.)</center><strong>I.MUQADDIMAH</strong><br /><div style="text-align: justify;">Kedudukan As-Sunnah sangat tinggi dan agung dalam islam di mana ia merupakan sumber hukum dan syariat islam tertinggi setelah Al Qur'an Al-Karim. Bahkan, sebagai satu di antara dua bagian wahyu ilahi yang diberikan kepada Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> (bagian yang lain adalah Al qu'ran),yang dengannya Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> menganjurkan ummatnya untuk menghafal dan meriwayatkannya(menyampaikannya) sebagaimana yang datang dari beliau,sebagaimana beliau menegaskan agar pengambilan hadits dari beliau shahih (tepat) dan akurat, tanpa tambahan ataupun pengurangan yang pada hakikatnya adalah kedustaan atas Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> yang pelakunya terancam neraka.</div> <p> </p> <p> </p> <div class="fullpost"> <div style="text-align: justify;"> <p><br />Maka bertitik tolak dari hal tersebut,kita dapat melihat secara gamblang dalam sejarah islam betapa besar dan maksimalnya perhatian (‘inayah) ulama ummat ini terhadap As-Sunnah,menghafalnya,memeliharanya (dengan pengamalan yang prima),mencatat dan membukukannya,melakukan perjalanan(rihlah) yang panjang dan berat di jalan As-sunnah,melakukan pemisahan antara riwayat yang shahih dengan yang lemah atau palsu,melakukan pencatatan nama-nama periwayat hadits dan menjelaskan derajat kapabilitas ‘<em>adalah</em> serta kekuatan hafalan dan pemahaman mereka,dan berbagai macam penilaian positif(ta’dil) maupun negative (jarh) yang berkaitan dengan sanad hadits maupun matannya.<br /><br /></p></div> <div style="text-align: justify;">Keberadaan ahlu-hadits ini merupakan salah satu karekteristik pokok dan suatu spesifikasi ummat ini yang membedakan mereka dari ummat-ummat yang lain. Mereka para ahlu-hadits yang telah membuktikan kekuatan potensi ilmiah yang dahsyat dan susah dibandingkan dengan para ahli ilmu lainnya. Dan sesungguhnya ini adalah manifestasi dan pembuktian firman Allah ta’ala dalam Al Quran Al Karim:</div> <div align="center"> <blockquote><span style="font-size: large;">إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون</span></blockquote></div><br />“ <em>Sesungguhnya Kami yang menurunkan Adz-Dzikr dan sesungguhnya Kami-lah yang menjaganya</em>”.(Al-Hijr:9).<br /><br /><strong>II.MAKNA TADWIN SUNNAH</strong><br /><div style="text-align: justify;"> <p>Secara bahasa, kata Tadwin (التدوين) bermakna (المتشتت في ديوان) artinya : ”mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan)pada suatu diwaan.”</p></div> <div style="text-align: justify;">Dan “diwaan” (الديوان) adalah kumpulan kerts-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya diwaan ahlu jaisy (buku daftar keluarga militer) yang dalam sejarah Islam untuk pertama kalinya dilakukan Umar. ( lihat Kamus Mukhtar Ash Shihaah dan Qamus Al-Muhith serta kamus-kamus Arab lainnya pada materi : (د و ن).</div> <div style="text-align: justify;"> <p>Adapun “tadwin As-Sunnah” (تدوين السنة), maknanya adalah penulisan riwayat-riwayat hadits nabawy pada kumpulan lembaran atau buku (kitab).</p><br />Tadwin As-Sunnah adalah merupakan salah satu bentuk inayah yang besar dan khidmat yang agung dari para ulama Ahli Hadits terhadap Sunnah Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em>.</div><strong><br />III. KAPAN DIMULAI TADWIN AS-SUNNAH?</strong><br /><br /><div style="text-align: justify;">Kebanyakan kaum muslimin memahami bahwa dalam kurun waktu lebih dari seratus tahun para ulama saling meriwayatkan dan menerima hadits dengan lisan dan hafalan saja tanpa ditulis dan bahwasanya orang yang pertama kali menulis hadits adalah Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124H),atas perintah dari khalifah Ar-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.</div> <div style="text-align: justify;"> <p>Dan pemahaman ini semakin bertambah masyhur, kuat dan berlangsung terus sampai sekitar 5 abad, hingga munculnya tokoh ulama hadits yang terkenal Al Khatib Al Baghdadi, yang melalui sebuah studi yang akurat dapat membuktikan bahwa penulisan hadits nabawi telah ada jauh sebelum masanya Imam Az Zuhri, bahkan dalam kitabnya <em>“Taqyidul-‘ilmi”</em> beliau menyatakan bahwa pencatatan hadits telah ada ketika Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> masih hidup dan juga di masa shahabat dan taabi’in.<br /><br /></p></div> <div style="text-align: justify;">Telah diriwayatkan dari Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> melarang pencatatan hadits-haditsnya,sebagaimana diriwayatkan pula bahwa beliau memberikan izin kepada sahabat-sahabatnya untuk mencatat/menulis.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>Para ulama Muhaqqiqin menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang berisi larangan Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> dalam pencatatan hadits beliau,semuanya lemah kecuali hadits Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu ‘anhu-,bahwasanya Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-,</em> bersabda:</p></div> <center><span style="font-size: large;">لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه</span></center><br /><div style="text-align: justify;"> “<em>Jangan kamu menulis dariku (hadits-haditsku) siapa yang menulis darku selain Al Quran maka hendaknya ia menghapusnya</em>”.(Riwayat Imam Muslim;Imam Bukhari menyatakan bahwa riwayat ini mauquf pada Abu Sa’id)<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>Di antara riwayat-riwayat yang berisi izin Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> dalam pencatatan hadits beliau:</p></div> <div style="text-align: justify;">1. Berkata Abdullah bin Amr bin Ash <em>–radhiyallahu ‘anhuma-</em>, “Saya pernah menulis segala apa yang saya dengar dari Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em>, saya ingin menghafalkannya,lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata, “Engkau menulis segala apa yang engkau dengarkan dari Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-</em> sedangkan ia manusia biasa yang bisa berbicara dalam keadaan marah dan ridha?” Lalu saya menghentikan menulis, lalu saya sampaikaan itu kepada Rasulullah <em>-shallallahu ‘alaihi wa sallam-<em>, maka beliau member isyarat dengan jarinya kemulutnya dan berkata,</em></em></div><br /><center><span style="font-size: large;">((اكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج منه إلا حق))</span></center><em><em><br /></em></em><br /><div style="text-align: justify;"><em><em>“Tulislah! Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya tidak keluar darinya kecuali yang haq”(</em></em>Riwayat Imam Ahmad, Ad darimi, Abu Daud, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil-‘ilm dan Al Khatib dalam At Taqyiid dari banyak jalan)<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>2. Berkata Abu Hurairah, “Tidak ada seorangpun sahabat yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin Amru bin ‘Ash karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis”.(HR.Imam Bukhari).<br /><br /></p></div> <div style="text-align: justify;">3. Berkata Abu Hurairah, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah pada Fathu Makkah, lalu berdiri seorang dari Yaman yang bernama Abu Syah dan berkata, ”Ya Rasulullah saya minta dituliskan (perkataanmu).Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,</div><br /><center><span style="font-size: large;">((اكتبوا لأبي شاه))</span></center><br /><div style="text-align: justify;">“<em>Tuliskanlah untuk Abu Syah”</em>.(HR.Imam Bukhari, Imam Ahmad dan lain-lain.Imam Abdullah bin Ahmad dan mengatakan tidak ada riwayat yang paling shahih mengenai bolehnya menulis hadits selain hadits ini).<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>4. Berkata Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- ,”Ketika sakit Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- semakin parah beliau bersabda:</p></div><br /><center><span style="font-size: large;">((ايتوني بكتاب أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده)),</span></center><br /><div style="text-align: justify;">“<em>Ambilkan aku kitab!aku akan tuliskan untuk kamu suatu tulisan yang kamu sekalian tidak akan sesat setelahnya</em>”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain)<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang shahih berkenaan dengan dibolehkan (oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) menulis hadits.Di samping itu ada juga riwayat-riwayat yang lemah, yang sebagiannya dapat naik menjadi hasan.<br /><br /></p></div> <div style="text-align: justify;">Bertolak pada penerimaan Ulama terhadap keshahihan hadits Abu Said di atas,maka berarti dua hal yang zhahirnya kontradiktif yang sama-sama diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.</div> <div style="text-align: justify;"><br /><p><strong>Bagaimana manhaj ulama muhadditsin dalam memadukan dua macam riwayat di atas?</strong></p></div> <div style="text-align: justify;">a. Bahwa larangan menulis hadits itu hanya pada awal Islam,yang mana dikhawatirkan pula bercampurnya hadits dengan Al-Quran. Setelah jumlah kaum muslimin bertambah banyak dan merekapun memiliki pengetahuan yang baik terhadap Al Quran, mampu membedakannya dari hadits-hadits nabawi, maka hilanglah kekhawatiran itu ditambah lagi dengan semakin banyaknya Sunnah Nabawiyah sehingga bila ditulis bisa hilang sebagiannya. Maka, hukum larangan menjadi manshukh dan berubah menjadi kebolehan.(Para Ulama telah menjelaskan dengan hujjah yang kuat bahwa Hadits Abdullah bin Amru dan Hadits Abu Hurairah di atas lebih akhir dari hadits Abu Sa’id).<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>b. Bahwa adanya larangan menulis hadist itu karena kekhawatiran akan larutnya orang-orang dengan menulis sehingga terlalai dari Al-Quran. Dan di sisi lain adalah dalam rangka menjaga/melestarikan kekuatan hafalan kaum muslimin karena berpatokan terhadap tulisan akan menyebabkan melemahnya hafalan. Maka di sini larangan berlaku untuk sahabat yang tidak diragukan kekuatan hafalannya, adapun yang tidak kuat hafalannya maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengizinkannya untuk menulis, misalnya pada kasus Abu Syah.<br /><br /></p></div> <div style="text-align: justify;">c. Bahwa larangan berlaku umum, dengan alasan (‘illat) karena dikhawatirkan bercampurnya hadits dan Al Quran,sehingga dengan ‘illat ini dikecualikan orang-orang yang dijamin tidak keliru dalam menulis semisal Abdullah bin Amru bin Ash yang dipercaya oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam urusan ini.<br /><br />Para Ulama Muhaqqiqin dari Ahlu-hadits menyatakan bahwa ketiga pendapat ini sebetulnya tidak ada pertentangan dan dengan mudah dapat dipadukan satu sama lain.Walhamdulillah.</div> <div style="text-align: justify;"> <blockquote>Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa penulisan hadits (tadwinussunnah) telah dimulai di masa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.Tidak sebagaimana yang senantiasa digembar-gemborkan oleh para orientalis dan juga dipahami oleh kebanyakan kaum muslimin bahwa Sunnah belum ditulis kecuali pada masa Imam Az-Zuhri (periode shigharuttaabi’in).</blockquote></div> <div style="text-align: justify;"><strong> <p>IV.PERIODISASI TADWIN SUNNAH</p></strong></div> <div style="text-align: justify;">Sejarah penulisan (kodifikasi) Sunnah telah melalui perjalanan yang panjang dengan melalui beberapa periode sebgai berikut:</div> <div style="text-align: justify;"> <p>1. Periode Abad I H. (sebagian muhadditsin menyebut periode ini dengan marhalah at ta'siis).</p></div> <div style="text-align: justify;">Periode ini mencakup masa kehidupan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, masa sahabat sepeninggal beliau dan masa tabi’in.<br />Usaha dan perjuangan yang dilakukan sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah pondasi awal dalam pencatatan Sunnah serta upaya penghafalan dan periwayatannya/panyampaiannya kepada ummat ini, sebagaimana usaha dan perjuangan mereka adalah pondasi dalam penyebaran din Islam dan pengokohan aqidah dan penjagaan Sunnah dari segala apa saja yang merusaknya.<br />Di antara upaya-upaya sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hal Tadwin sunnah adalah sebgai berikut:<br /><br />a. Motivasi dalam mengahafal dan menguatkan hafalan, bahkan banyak di antara mereka yang menyuruh murid-muridnya untuk menulis dalam rangka menguatkan hafalannya lalu menghapus kembali tulisan itu agar tidak menjadi patokan/sandaran.<br /><p>b. Menulis Sunnah dan mengirimkannya kepada orang lain.</p>c. Menganjurkan kepada murid-murid mereka untuk menulis/mencatat hadits.<br /><p>d. Mencatat dan mengumpulkan hadits dalam diiwaan (lembaran-lembaran).<br /><br /></p></div> <div style="text-align: justify;">Setelah masa sahabat datanglah generasi tabi’in yang memawarisi Sunnah. Bahkan, dien ini secara keseluruhan dari sahabat dan mereka tampil dengan mengemban amanah penyampaian risalah kepada seluruh manusia. Mereka telah memaksimalkan usaha mereka dalam rangka ta’zhim dan khidmat terhadap Sunnah dalam berbagai bentuk dan upaya.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>Dan di antara usaha besar dan kerja keras mereka khusus untuk tadwin sunnah adalah sebagai berikut:</p>a. Menganjurkan untuk iltizam kepada Sunnah, menghafal dan menulisnya, serta tatsabbut dalam meriwayatkan dan mendengarkannya.<br /><p>b. Mencatat Sunnah dalam lembaran-lembaran.</p>c. Usaha-usaha yang besar dari dua imam kaum muslimin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab Az Zuhri,dalam tadwin sunnah.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>2.Periode abad II (marhalah at ta'-shil)</p></div> <div style="text-align: justify;">Periode ini mencakup dua generasi,yaitu generasi shigar at Tabi’in dan generasi atba’uttabi’in. Dalam periode ini khidmah kepada Sunnah dan ilmu-ilmunya semakin meningkat, upaya penjagaan dari segala hal yang menodai dan mengotorinya makin gencar. Di masa ini mulailah Sunnah dikodifikasikan secara teratur dan tersusun. Bersamaan dengan itu muncul pulalah ilmu rijal, yang cikal-bakalnya telah muncul sejak akhir masa sahabat dan kibar at tabi’in ditandai dengan munculnya pertanyaan tentang isnad. Di tangan generasi inilah awal mula disusunnya kitab-kitab ilmu rijal dan kitab-kitab hadits yang tersusun atas bab-bab dan pasal-pasal.<br /><br /><p>Beberapa perkembangan tadwin sunnah yang terjadi pada periode ini:</p>a. Lahirnya metode penulisan hadits yang baru yaitu hadits-hadits disusun teratur bab per-bab (tashnif).<br />b. Penggabungan ucapan (atsar) sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in dengan hadits-hadits nabawi dalam kitb-kitab yang ditulis pada periode ini.Setelah sebelumnya atsar dan fatwa tersebut tidak ditulis.<br />Periode ini dipandang sebagai masa pengokohan ilmu-ilmu Sunnah, di masa ini hidup tokoh-tokoh besar Sunnah, para imam yang mulia: Malik, Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-tsauri, al-Auzai’Ii Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu Mubarak, Ibrahim Al Fazari, Ibnu Uyainah, Yahya bin Said al Qaththan, Ibnu Mahdi, Waki’ dan lain-lain.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <p>3.Periode Abad III (Marhalah An-Nudhj)</p></div> <div style="text-align: justify;">Periode ini merupakan masa kemajuan ilmu-ilmu keislaman secara umum, dan ilmu-ilmu Sunnah secara khusus.bahkan masa ini dipandang sebagai masa keemasan Sunnah Nabawiyah, yang mana pada masa ini semakin gesit rihlah untuk Tholabil-‘ilm, semakin gencar penulisan kitab dalam ilmu rijal dan semakin luas karya-karya dalam tadwin sunnah. Munculnya Kitab-kitab Masanid, Shihah dan Sunan. Yang diantaranya adalah Al Kutub As Sittah.<br /><br />Pada periode ini tampil para tokoh-tokoh Huffazh, ahli naqd (kritik hadits) dan ulama-ulama besar seperti: Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma’in, Abu Abdillah Al Bukhari, Muslim bin Hajjaj, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar Razi, Utsman bin Sa’id Ad Darimi, Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasaai, Ibnu Majah dan lain-lain. Yang kesemuanya merupakan pelopor ilmu hadits secara umum dan ilmu jarh wa ta’dil secara khusus.<br /><br />Dari tangan-tangan mereka pula lahir suatu bentuk karya baru dalam tadwin sunnah ,yaitu kitab-kitab aqidah, sebagai upaya membentangi islam dan Sunnah dari golongan ahlu ahwa wal bida’.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;">4.Periode abad IV (Marhalah al Istikmal)</div> <div style="text-align: justify;">Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya.<br /><br />Pada abad IV H,para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III). Dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, adapun yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan hadist-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab dan adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al hadits.<br /><br />Pada periode ini pulalah muncul bentuk baru dalam tadwin sunnah seperti munculnya kitab-kitab mustakhrajat, dan ma’ajim (mu’jam-mu’jam) hadits. Muncul pula pengkodifikasian syarah hadits (fiqhul hadits). Muncul pula pengkodifikasian ilmu mustholah hadits untuk pertama kali dan munculnya karya ulama dalam ilmu ‘ilal al hadits. Dalam ilmu jarh wa ta’dil pun terdapat beberapa kitab-kitab terkenal dan merupakan referensi yang ditulis ulama pada masa ini.<br /><br />Di antara tokoh dan Imam Sunnah di masa ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu As Sakan, Al Hakim, Ibnul Jarud, ad Daraquthni, Ath Thahawi, Ath Thabarani, Abu Nu’aim Al Ashbahabi, Al Isfirayini dan lain-lain.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;">5.Periode abad V H (Marhalah at-tahdzib)</div> <div style="text-align: justify;">Pada abad V H, ulama memunculkan kreasi baru dalam tadwin sunnah, yang mana merupakan perluasan dan pengayaan khazanah haditsiyah.Misalnya:<br />a.Pengumpulan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda, seperti penggabungan hadits-hadits Shahihain, penggabungan hadits-hadits Al Kutub As Sittah, penggabungan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda-beda.<br />b.Munculnya kitab-kitab takhrij<br />c.Munculnya kitab-kitab maudhu’at.<br />d.Munculnya kitab-kitab tentang hadits-hadits At Targhif wattarhib.<br /><br />Di samping adanya karya-karya para ulama yang mengikuti manhaj para ulama sebelumnya seperti kitab-kitab sunan (hadits-hadits ahkam) dan mustakhrajat. Jenis usaha lain yang semakin menguat pada masa ini adalah pensyarahan terhadap hadits-hadits yang terdapat pada kitab-kitab hadits yang ada.<br /><br />Di antara tokoh-tokoh hadits di masa ini adalah Al Baihaqi, Al Baghawi, Muhammad bin Nashir al Humaidi, Al Khatib Al Baghdadi, Ibnu Abdilbarr dan sebagainya.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;">6.Periode abad VI dan VII (Marhalah at tamhish)</div> <div style="text-align: justify;">Pada periode ini ulama menempuh berbagai bentuk pengkhidmatan terhadap Sunnah melalui buah karya mereka, yang umumnya adalah melanjutkan apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya yang tentunya dengan susunan-susunan yang umumnya lebih baik dari sebelumnya misalnya:<br />a. Kitab-kitab maudhu’at.<br />b. Kitab-kitab hadits ahkaam.<br />c. Kitab-kitab gharibul hadits.<br />d. Kitab-kitab athraful hadits.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;">7.Periode abad VIII dan IX (Marhalah al Jam'i wattartib)</div> <div style="text-align: justify;">Pada periode ini para ulama juga melakukan tadwinus sunnah dalam bentuk inayah dan khidmat kepada kitab-kitab salaf (generasi-generasi awal) dengan mensyarahnya, selain itu mereka juga menyusun biografi (tarjamah) para periwayatnya.<br />Di samping itu para ulama di periode ini melanjutkan apa yang telah dilakukan oeh generasi sebelumnya dan di antara yang paling nampak adalah munculnya kitab-kitab Takhrij dan kitab-kitab Jawami’.<br /><br />Pada periode ini pula sebuah kreasi baru muncul dari kalangan Ulama yaitu adalah kitab-kitab Zawaaid.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;">8.Periode Pasca Abad IX hingga awal abad XIV (Marhalah aljumud)</div> <div style="text-align: justify;">Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah.Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaimana sebelumnya.<br /><br />Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;">9.Periode abad XIV hingga sekarang (marhalah an nuhdh wal inbi’ats),</div> <div style="text-align: justify;">Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya percetakan ke alam islmai mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadits, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwinus sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan dengannya.<br /><br />Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah.<br /><br />Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.<br /><br /></div> <div style="text-align: justify;"><strong>V. MENGENAL KITAB-KITAB HADITS YANG TERKENAL:</strong></div> <div style="text-align: justify;">1. Dari abad II :<br />Al Muwaththa (Imam Malik bin Anas), Al Mushannaf (Abdurrazzaq Ash Shan’ani), Al Mushannaf (Ibnu Abi Syaibah).</div> <div style="text-align: justify;">2. Dari abad III :</div> <div style="text-align: justify;">a. Kitab-kitab masanid (musnad-musnad) : Musnad Abu Daud Ath Thayalisi, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Amru Al Bazzar, Musnad Abu Ya’la Al Maushili, Musnad Al Humaidi, Musnad Ibnu Rahuyah dan sebagainya.<br />b. Kitab-kitab shihah : Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim.<br />c. Kitab-kitab sunan : Sunan Abi Daud, Sunan (Jami’) At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan Sunan Ad Darimi.<br />d. Kitab-kitab hadits yang berkaitan dengan aqidah : As Sunnah (Imam Ahmad), As Sunnah (Abdullah bin Ahmad), As Sunnah (Abu Nashr Al Marwazi), Ar Raddu ‘alal Jahmiyah (Imam Ahmad), Al Raddu ‘ala Bisyr Al Marisi Al Mu’tazili (Imam Ad Darimi), Khalqu Af’aalil ‘Ibad (Imam Bukhari) dan sebagainya.<br /><br />3. Dari abad IV :<br />a. Kitab-kitab Shihah : Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Sakan, Mustadrak Al Hakim.<br />b. Kitab-kitab Sunan : Muntaqa Ibnul Jarud, Sunan Ad Daraquthni.<br />c. Kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu mukhtalafil-hadits : Syarh musykil al-aatsar (Ath Thahawi).<br />d. Kitab-kitab Mustakhrajat : Mustakhrajat Abu Bakar Al Isma’ili (tehadap Shahih Bukhari), Mustakhrajat Abu ‘Awanah Al Isfarayini (atas Shahih Muslim).<br />e. Kitab-kitab Ma’ajim : Al Mu’jam Al Kabir, Al Mu’jam Al Ausath, Al Mu’jam Ash Shagir (ketiganya oleh Imam Ath Thabarani).<br />f. Kitab-kitab syarah hadits : Tahdzibul aatsar (Ibnu Jarir Ath Thabari), Syarhu Ma’anil Aatsaar (Ath Thahawi), Syarhu Shahihil Bukhari dan Ma’alim as sunan (keduanya oleh Al Khaththabi).</div> <div style="text-align: justify;">4. Dari abad V :</div> <div style="text-align: justify;">a. Kitab-kitab Sunan : Sunan Al Kubra (Al Baihaqi).<br />b. Kitab-kitab yang mneggabungkan Kitab-kitab hadits sebelumnya:<br />- yang menggabungkan shahihain: Al Jam’u baina Ash Shahihain (masing-masing ditulis oleh Ibnu Nashr Al Humaidi, Abu Bakar Al Barqani dan lain-lain).<br />- yang menggabungkan al Kutub as Sittah : At Tajrid lish-shihaah wassunan ( Al Hafizh As Sarqasti), Jaami’ al- ushuul (Ibnu Atsir Al Jazari).<br />- yang menggabungkan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda: Bahrul asaaniid fi shahihil masaaniid (Al Hafizh Abu Muhammad As Samarqandi), Mashaabihus-sunnah (Imam Al Baihaqi).<br />c. Kitab-kitab maudhu’at : kitab Tadzkir Al Maudhu’at (Abul Fadhl Muhammad bin Thahir ibnu Qaisaraani).<br />d. Kitab-kitab yang berkaitan dengan at targhib wattarhib : Kitab At Targhib wat Tarhib, Kitab ad Da’waat Al kabir (keduanya oleh Imam Al Baihaqi).<br />e. Kitab-kitab mustakhrajat : Mustakhraj Al Hafizh ibnu Marduyah (atas Shahih Bukhari), Mustakhraj Abu Nu’aim Al Ashbahani (terhadap Shahihain) dan lain-lain.<br />f. Kitab-kitab syarah hadits : At Tamhid (Ibnu Abdilbarr), Syarhus-Sunnah (Al Baghawi), Al Muntaqa –syarah Al- Muwaththa- (Abul Walid Al Baaji).</div> <div style="text-align: justify;">5. Dari abad VI dan VII :</div> <div style="text-align: justify;">a. Kitab-kitab maudhu’at : Al Abaathil wa Manakir (Al Husain Al Jauzaqani), Al Maudhu’at (Al hafizh Abul Faraj Ibnu Al Jauzi).<br />b. Kitab-kitab Ahkam : ‘Umdatul Ahkam (Abdulghani Al Maqdisi), Al Ahkam Al Kubra (Majduddin Abdussalam Ibnu Taimiyah), Al Ilmaam fi bayani Adilatil-ahkaam (Al izz abdissalam), Al Ilmaam fi Ahaadits-Ahkam (Ibnu Daqiq Al-Ied).<br />c. Kitab-kitab gharibul hadits : Gharibul hadits (Ibnul jauzi), An Nihayah fi Gharibil-hadits (Ibnu atsir Al Jazari).<br />d. Kitab-kitab athraaful hadits: Al Isyraaf ‘ala ma'rifatil Athraaf (Ibnu Asakir).<br />e. Kitab syarah hadits : Syarh Shahih Muslim (Ibnu Sholah), Al Minhaj fi Syarhi shahih Muslim Ibnil-Hajjaj (An Nawawi).<br />f. Kitab-kitab berkaitan dengan At Targhib wattarhib : At Targhib wattarhib (Al Mundziri), Riyaadhush Shalihin (An Nawawi).</div> <div style="text-align: justify;">6. Dari abad VIII dan XI</div> <div style="text-align: justify;">a. Kitab-kitab syarah hadits: Fathul Baari (Al hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani).<br />b. Kitab-kitab takhrij : Nashbur Raayah li ahaaditsil hidaayah (Az Zaila’i), At Talkhish Al Habir (Al hafizh Ibnu hajar).<br />c. Kitab-kitab Jawaami’ : Jaami’ul masaanid (Ibnu Katsir).<br />d. Kitab-kitab Zawaaid : Kasyful Aatsaar ‘an Zawaa-id al Bazzar, Majma’uz- Zawaid wa Manba’ul-fawaaid, Mawariduzh zham’an ilaa Zawaa’id Ibnu Hibban dan sebagainya (Al Haitsami), Al Mathaalib al Aliyah fi Zawaa-id al Masaanid ats Tsamaniyah(Ibnu Hajar), Ithaaful Khiyarah al Maharah bizawaa-id Masaanis al ‘Asyarah (Al Buushiri) dan lain-lain.<br />e. Kitab-kitab Athraaf : Tuhfatul asyraaf bima’rifatil athraaf karya Al Hafizh Al Mizzi.<br />f. Kitab-kitab Ahkam: Al Muharrar fi ahadits-Ahkam (muhammad bin Ahmad Al Maqdisi), BulughurlMaram (Ibnu Hajar), Tharhut Tastrib fi Syarhit-Taqrib (Al-Iraq).<br />g. Kitab-kitab maudhu’at: Ahaaditsul-Qushshaash (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).<br /><br />7. Dari abad IX hingga abad XIV:<br />a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : Syarh Sunan An Nasaai (As Suyuthi), Mishbahuz-Zujajah Syarah Sunan Ibnu Majah (As Suyuthi), Nailul Authar Syarhu Muntaqa akhbar (Asy-Syaukani),Subulussalam Syarh Bulughul Maram (Ash Shan’ani), Al Faidhul Qadir (Al Munawi) dan sebagainya.<br />b. Yang berkaitan dengan Jawami’: Jam’ul Jawami’ dan Al Jami’ As Shagir (As Suyuthi), Kanzul ‘Ummaal (Alauddin Qadhi Khan Al Hindi).<br />c. Yang berkaitan dengan maudhu’at: Al La-ali Al Mashnu’ah (As Suyuthi), Al Fawaaid Al Majmu’ah (Asy Syaukani), Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’ah (Ibnu Arraq Al Kinani), Al Asrar al Marfu’ah ‘anil Ahadits al Maudhu’ah (Mula Ali Al Qari).</div> <div style="text-align: justify;">8. Dari abad XIV hingga kini.</div> <div style="text-align: justify;">a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : ‘Aunul Ma’bud syarhu Sunan Abi Daud (Syamsul Haq Azhim Abadi), Tuhfatul Ahwadzi syarah Jami’ At Tirmidzi (Al Mubarakfuri) dan lain-lain.<br />b. Yang berkaitan dengan takhrij hadits : Irwaa-ul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaarissabiil (Al Albani).</div> <div style="text-align: center;"> <div style="text-align: right;">وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين</div></div> <div style="text-align: justify;"><strong>Referensi</strong>:<br /><blockquote> 1. Tadwin As Sunnah, Syaikhuna Prof Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani.<br />2. As Sunnah qabla At-Tadwin, Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib.<br />3. Buhuts fi tarikh As Sunnah Al Musyarrafah, Dr. Akram Dhiya Al Umari.<br />4. Al Wadh’u fil hadits, Dr. Umar bin Hasan Fallatah.<br />5. Ar Risalah Al Mustatharafah, Al Imam As Sayyid Muhammad bin Ja’far Al Kattani.<br />6. Tathawwur Diraasaat As Sunnah An Nabawiyah, Dr. Faruq Hamadah.<br />7. Bahtsun fi Tadwin As Sunnah An Nabawiyah Fi Al Qarnil Khamis Al Hijri,penulis.<br />(Sumber:markazassunnah.blogspot.com)<br /></blockquote></div></div> <p> </p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-89787503709522787222010-02-22T05:22:00.000-08:002010-02-22T05:25:21.138-08:00tazkirah<div align="center"> <p><span style="color:#0000ff;"><strong>Kerusakan Moral dan Solusi Islam</strong></span></p></div> <p><br />Sekarang ini, karena pengaruh internet yang demikian luas penggunaannya, gaya berpacaran remaja di wilayah perdesaan kian mengkhawatirkan. Remaja kini tidak lagi sungkan mengajak teman sebayanya untuk berhubungan seks di luar nikah karena termakan propaganda pergaulan bebas di televisi maupun situs internet.</p> <p><br />"Umumnya, remaja usia 15 tahun atau yang dikenal dengan sebutan ABG sampai mahasiswa semester awal yang berkonsultasi mengaku pernah berhubungan intim dengan pacarnya," kata Psikolog Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP dan KB) Bahkan, ia melanjutkan, ada yang setiap kali ganti pacar selalu berhubungan suami istri.<br /><br />Tidak diragukan bahwa prilaku menyimpang di atas adalah produk jahiliyah modern) yang acuh terhadap nilai-nilai agama dan moral.Pada edisi kali ini mari kita mencoba menelusuri sejarah moral dalam kejahiliyahan modern. Salah satu tujuannya agar kita mengetahui apakah kejahiliyahan modern itu sedang menanjak atau mengalami kemerosotan. Sebab tidak sedikit yang silau memandang segala yang datang dari barat sangat manusiawi atau identik dengan kemajuan.<br /><br /><br /><strong>Latar Belakang Kehancuran Moral Bangsa Barat<br /></strong>Pada abad pertengahan ajaran moral yang mendominasi Benua Eropa adalah Nasrani, seperti yang digambarkan oleh kekuasaan gereja di eropa. Nabi Isa as. mengajarkan kehidupan zuhud dan menghindari kesenangan jasmani secara berlebih-lebihan. Dan ini adalah juga ajakan setiap Nabi kepada umat mereka masing-masing.<br /><br />Di zaman Nabi Isa persoalan ini ditekankan kembali oleh beliau karena ia melihat ketika itu manusia hidup dalam keserakahan yang menjadi-jadi dalam mengejar materi. Akibat keserakahan itu, sedikit demi sedikit mempengaruhi stabilitas moral Bani Israil dan penguasa Romawi. Di dalam injil Matius dikatakan, “tetapi aku berkata padamu setiap yang memandang perempuan dan menginginkannya maka ia sudah berzina dengan dia dalam hatinya.<br /><br />Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau cungkillah dan buanglah itu,karena lebih baik bagi engkau jika salah satu anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan dalam neraka Dari ucapan tersebut di atas dan yang serupa dengannya, maka gereja menetapkan aturan-moral ketat kepada para pengikutnya. Di kemudian hari lahirlah sistem kerahiban yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Isa 'Alaihissalam<br /><br />lebih jauh dan ekstrim, gereja membuat doktrin bid'ah yaitu bahwa seks adalah kotor,wanita adalah makhluk mirip setan yang wajib dijauhi, pernikahan adalah kebutuhan naluriah hewaniyah ! Sebaliknya manusia yang paling bahagia dan besar takwanya adalah sanggup “meningkatkan” kwalitas diri dan tidak menikah.<br />Dalam kurun waktu yang panjang kemesuman dan kebejatan moral meluas di tengah masyarakat Romawi. Sebagai reaksinya meluas pula penolakan dengan menjamurnya sistem kerahiban (hidup membujang dan menjauh dari gemerlap materi).<br /><br />Abul Hasan Ali an-Nadawi mengutip ucapan Lucky (sejarah moral Eropa), ia mengatakan, “pada masa itu dunia terombang ambing oleh sistem kerahiban produk gereja yang sangat ekstrem dan maksiyat yang melampaui batas, justru di kota-kota yang paling banyak terjadi pencabulan dan kemesuman. Pada saat itu kejahatan dan kerahiban bisa menjadi dua hal yang berbeda dalam satu paket”<br /><br />Selanjutnya Lucky mengatakan, “para rahib itu lari jika melihat bayangan wanita, mereka merasa berdosa jika berada atau berkumpul dekat wanita. Mereka berkeyakinan bahwa bertemu dengan wanita di pinggir jalan atau bercakap-cakap dengannya-meski wanita itu adalah ibu, saudari kandung atau bahkan istri sendiri- maka itu akan menghapuskan amal kebajikan ”.<br /><br />Inilah pandangan dasar mereka tentang wanita. Bagi kaum rahib itu, wanita adalah pintu neraka. Wanitalah yang mengeluarkan laki-laki dari sorga. Andai bukan godaan wanita mungkin manusia beranak pinak di surga dan bukan di bumi.<br /><br />sampai tiba pada satu masa, Eropa dengan pandangan jahiliyahnya yang penuh dengan penyelewengan, timbul reaksi jahiliyah yang lebih hebat lagi. Kerusakan mengerikan yang terjadi di biara-biara dengan berbagai tindak kemesuman antara rahib pria dan wanita merupakan pukulan hebat yang menggoyangkan sendi-seni kerahiban. Belum lagi dengan hukum sadis (INKUISISI) yg diterapkan oleh pihak gereja terhadap para pelanggar aturan moral, seperti pencungkilan mata, memotong atau menusuk alat kemaluan dst., memicu kebencian rakyat pada pihak gereja berikut produk undang-undangnya. Akhirnya manusia pada zaman itu muak dan memalingkan diri dari hidup “suci” dan tidak peduli dengan semua akibatnya. Mereka akhirnya dengan liar mengejar-ngejar kelezatan syahwat.<br /><br /><strong>Semua itu tidak terjadi begitu saja, tapi terjadi perlahan-lahan.<br /></strong>Kelompok yang berusaha mempertahankan moral masyarakat terus menerus meneriakkan kebebasan seks. Sebaliknya kelompok yang membela “perkembangan” dan “kemajuan” membagus-baguskan dekadensi moral. Hanya saja kelompok yag kedua menyebarkan idenya dengan berbagai sarana.<br /><br />Semua ini merupakan praktek dari budaya jahiliyah modern yang menyeleweng jauh dari tuntutan ilahi sehingga kebobrokan sedemikian jauh mencapai puncaknya. Kaum wanita telah bebas, semua manusia yang berada dalam belenggu jahiliyah telah “bebas” sebebas-bebasnya dari belenggu agama, moral dan tradisi. Pergaulan bebas antara pria dan wanita akhirnya menjadi norma yang diakui.<br /><br />William Durant, berkata tentang kebobrokan moral jahiliyah modern, “Perkawinan dua orang. suami istri dalam masyarakat moderen bukanlah perkawinan dalam arti sebenarnya, ia tidak lebih dari hubungan biologis semata-mata. Perkawinan tidak dilandasi atas dasar yang kokoh pasti cepat pudar karena terpisah dari tujuan hidup dan tujuan melestarikan keturunan. Pada akhirnya hubungan seperti itu membuat jiwa pasangan suami istri menciut sehingga menjadi dua individu yang serupa dengan dua keping benda yang terpisah sama sekali ”<br /><br />Demikianlah seterusnya, hari ini kita saksikan hampir semua negara menikmati “berkah kebebasan” dari belenggu agama dan moral. Hampir semua telah menikmati “manisnya” hubungan bebas antara pria dan wanita lepas dari berbagai jenis ikatan moral. Di Amerika Serikat-negeri yang menghalalkan segala rupa kemesuman- melindunginya dengan kekuasaan legislatif. Bahkan ada yang melangkah lebih jauh, beberapa negara di Eropa seperti Belanda telah mengakui hubungan “suami istri” dari sesama jenis.<br /><br />Sayang seribu sayang di negeri Muslim seperti Indonesia, juga sekumpulan orang yang merasa jadi pahlawan dengan menganjurkan kebebasan seperti Prof. Musda Mulia. Guru besar salah satu perguruan tinggi ini intens memberikan pembelaan terhadap kaum gay dan lesbian. Jika dukungan dan propaganda meluas entah akan menjadi apa negeri mayoritas Muslim ini. Wallahul musta'an<br /><br /><strong>Islam adalah Solusi<br /></strong>Islam adalah Manhajul Hayat (sistem kehidupan) yang membimbing manusia menuju jalan keselamatan. Tidak ada perintah yang tertuang dalam ajaran Islam kecuali di sana ada maslahat. Sebaliknya tidak larangan yang tertuang dalam kecuali di sana ada mudharat yang menghadang. Itulah sebabnya Islam menolak sama sekali<br /><br />kedunguan jahiliyah modern. Pria dan wanita dipertemukan bukan untuk hiburan dan bersenang-senang semata tanpa tujuan. Tujuan universal dari pertemuan kedua makhluk beda jenis ini untuk melahirkan masyarakat mulia dan bertakwa. Allah berfirman, “wahai manusia hendaklah kalian bertakwa pada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa. Dan dari jiwa itulah Allah menciptakan pasangannya. Lalu dari keduanyalah Allah menyebarkan banyak pria dan wanita…” (an-Nisa':1)<br /><br />Jadi, pertemuan antara pria dan wanita bukan pertemuan gila-gilaan tanpa aturan dan tidak bertujuan kecuali membangkitkan dan mengompori naluri negatif. Tidak sama sekali ! Jika ini mewabah di tengah masyarakat maka ini sangat berbahaya, sebab salah satu pintu kebinasaan umat dahulu adalah dikala mereka memperturutkan syahwat tanpa kendali.<br /><br />Di dalam Islam, pernikahan adalah jalan terbaik dalam membina hubungan laki-laki dan perempuan. Pernikahan dalam pandangan Islam tidak semata-mata penyaluran kebutuhan biologis dan setelah semua itu tersalurkan maka selesai sudah. Tidak ! Tapi, di sana ada tanggung jawab dari kedua belah pihak. Di sana ada kewajiban menafkahi, membesarkan dan mendidik anak-anak yang lahir dari hubungan harmonis tersebut. Di sana ada kewajiban untuk terus membina harmonisasi antara suami dan istri, antara orangtua dan anak dan kewajiban menyambung hubungan kekerabatan dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan. Jika ini berlangsung dengan baik, maka sungguh ini sebuah harmoni kehidupan yang indah, hidup harmoni yang sangat diimpi-impikan oleh jahiliyah modern yang berada di ujung keruntuhan []<br /><br /></p> <p><strong><u>Halaman Oase</u></strong><br /><br /></p> <div align="center"> <p><strong>Manfaat Menjaga Kesucian Diri</strong></p></div> Menjaga diri dari kekotoran moral memiliki banyak manfaat. Di antaranya Alllah akan menjaganya dan keturunannya.<br /><br />Allah ta'ala akan menjaga kelurga,harta, jiwa, kehidupan masa kini dan masa depan, dan bahkan segala urusannya. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabda beliau yang cukup terkenal,<br /><br />“ Jagalah Allah, Niscaya Ia akan menjagamu. Jagalah Allah Niscaya Engkau temukan Ia di Hadapanmu” (H.R.Tirmidzi)<br /><br />Para Ulama mengatakan ketika menafsirkan hadis ini; Jagalah Allah Artinya, jagalah Ia dalam Perintah dan larangan-larangan Nya, dengan menjalankan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya.<br /><br />Apa Hasilnya? “Niscaya Allah akan menjagamu”. Allah akan menjaga anda, keluarga anda, anak anda, harta benda, masa depan anda di dunia. Juga Allah akan menjaga agama anda dan masa depan anda di akhirat.<br /><br />Seperti ini pula yang dikatakan Allah dalam surah Al Kahfi ayat 82,<br />“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, adapun ayahnya adalah orang yang shaleh”<br />Ibnu Katsir, ketika member tafsir ayat ini, beliau mengatakan, ini menunjukkan bahwa orang yang shaleh itu akan dijaga keturunannya. Dan berkah ibadahnya juga mencakup keturunannya di dunia dan di akhirat karena syafaatnya untuk mereka, juga akan mengangkat derajat mereka ke surga yang tertinggi.<br /><br />Dinukil dari Ibnu Abbas, terkait penafsiran kedua anak yang disebutkan dalam ayat ini: bahwa mereka dijaga karena kesholehan ayahnya dan tidak dijelaskan bahwa kedua anak itu adalah anak yang sholeh.<br /><br />Said Ibnul Musayyid berkata kepada anaknya: Sesungguhnya aku akan menambah shalatku untukmu dengan harapan engkau akan dijaga karenaku. Lalu beliau membaca ayat tersebut di Atas.<br /><br />Umar bin Abdul Aziz berkata, tidak ada seorang mukmin yang meninggal dunia, melainkan Allah akan menjaga keturunannya dan keturunan keturunannya, maka bergembiralah orang-orang yang senantiasa menjaga akhlak dan moralnya serta istiqamah di jalan Allah karena ia adalah manusia yang paling banyak mendapatkan penjagaan dari Allah karena ia menjaga perintah-perintah Allah.<br />Dan balasan itu setimpal dengan amal.<br />(Sumber: “Meniti Jalan Istiqamah” Syaikh Musnid al-Qahthany)Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-38455059633582362532010-02-22T05:06:00.000-08:002010-02-22T05:13:34.505-08:00tazkirah<div align="center"> <p><span style="color:#0000ff;"><strong>Antara Cinta Rasul dan Maulid Nabi</strong></span></p></div> <p><br />Cinta terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam merupakan salah satu syarat beriman kepadanya, bahkan kecintaan kepada beliau harus melebihi segala kecintaan pada makhluk lainnya. </p> <p><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).</p><br />Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.<br />Setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Klaim cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau.<br /><br /><p><strong>Sejarah Peringatan Maulid Nabi</strong></p>Dalam sejarah pun, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid nabi (pengikut mazhab Bathiniyyah), bukan didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.<br /><br />Pelopor pertama peringatan maulid nabi adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.<br /><br />Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.<br />Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.<br /><br />Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).<br /><br />Kenyataan sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan masa tiga generasi yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai generasi terbaik umat ini, menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.<br /><br />Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah, inovasi yang baik, selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqolani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.<br /><br />Keabsahan peringatan maulid nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumen-tasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam al Quran dan juga al hadits, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.<br /><br /><p><strong>Hujjah Pendukung Peringatan Maulid</strong></p>Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:<br /><br /><p><strong>Pertama</strong>: Sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah Azza Wajalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut.<br /><br /></p>Peringatan maulid nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam ke muka bumi.<br /><br />Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.<br /><br />Puasa asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari kreasi-kreasi bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).<br /><br />Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhaanahu Wata’ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada ummat ini adalah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai nikmat, "Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).<br /><br />Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau.<br /><br />Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan sangat antusias melakukan berbagai kebaikan.<br /><br />Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?<br /><br /><p><strong>Kedua</strong>: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa</p>Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.<br /><br />Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun. Selain itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).<br /><br />Sehingga berdalih dengan puasa senin tanpa hari kamis termasuk takalluf dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya pering-atannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.<br /><br /><p><strong>Ketiga</strong>: Peringatan maulid nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebahagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau dholalah (sesat). </p><br />Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).<br /><br />Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat” (HR. ath-Thabrani dan al Haitsami).<br /><br />Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubro libni Baththoh, 1/219).<br /><br /><p><strong>Keempat</strong>: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. </p>Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa Alaihissalam melalui natalan. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).<br /><br />Mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.<br /><br />Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.<br />Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab<br /><p><em>(Diringkas dari risalah Antara Cinta Rasul dan Maulid Nabi. Ustadz Abu Yahya Salahuddin Guntung, Lc.)</em></p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-82051954605636050922009-04-28T06:38:00.000-07:002009-04-28T06:43:04.777-07:00Renungan Seorang Da'ie........<p class="MsoNormal" style="font-family: georgia; text-align: center; font-weight: bold;"><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="color: rgb(0, 102, 0);">Jejak …</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family: georgia; font-weight: bold;"><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="color: rgb(0, 102, 0);">Jejak itu menuju tujuan </span><o:p style="color: rgb(0, 102, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(0, 102, 0);">Bersama taulan ke arah yang diimpikan</span><o:p style="color: rgb(0, 102, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(0, 102, 0);">Jika terbuki suatu kebenaran</span><o:p style="color: rgb(0, 102, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(0, 102, 0);">Semakin dicari menemui pilihan</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family: georgia; font-weight: bold;"><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Jejak itulah landasan impian</span><o:p style="color: rgb(204, 0, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Penuh keyakinan dan tiada keraguan</span><o:p style="color: rgb(204, 0, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Ianya bukan satu permainan</span><o:p style="color: rgb(204, 0, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Jika tersalah akan membinasakan</span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="font-family: georgia; font-weight: bold;" class="MsoNormal"><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Jejak itu bukan satu angan-angan</span><o:p style="color: rgb(0, 0, 102);"></o:p><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Tekadkan diri dengan amal dan iman</span><o:p style="color: rgb(0, 0, 102);"></o:p><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Andai dibiar pangkalnya khayalan</span><o:p style="color: rgb(0, 0, 102);"></o:p><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">kuatkan istiqamah binalah kesabaran</span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="font-family: georgia; font-weight: bold;" class="MsoNormal"><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p><span style="color: rgb(153, 51, 0);">Jejak itu dihalangi cabaran dugaan</span><o:p style="color: rgb(153, 51, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">Biarpun hempedu pahit ditelan</span><o:p style="color: rgb(153, 51, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">Walau duri menusuk seluruh badan</span><o:p style="color: rgb(153, 51, 0);"></o:p><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">Kerana halawah menutupi keperitan</span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="font-family: georgia; font-weight: bold;" class="MsoNormal"><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="color: rgb(51, 0, 153);">Jejak itu penuh kerahsiaan</span><o:p style="color: rgb(51, 0, 153);"></o:p><br /><span style="color: rgb(51, 0, 153);">Seakan menguji matlamat perjuangan</span><o:p style="color: rgb(51, 0, 153);"></o:p><br /><span style="color: rgb(51, 0, 153);">Semakin beku tanpa peringatan</span><o:p style="color: rgb(51, 0, 153);"></o:p><br /><span style="color: rgb(51, 0, 153);">Akhirnya amanah dibiarkan</span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="font-family: georgia; font-weight: bold;" class="MsoNormal"><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="color: rgb(102, 51, 102);">Jejak itu beribu kesukaran</span><o:p style="color: rgb(102, 51, 102);"></o:p><br /><span style="color: rgb(102, 51, 102);">Tanpa keyakinan kusutnya fikiran</span><o:p style="color: rgb(102, 51, 102);"></o:p><br /><span style="color: rgb(102, 51, 102);">Hindari diri dari kesulitan</span><o:p style="color: rgb(102, 51, 102);"></o:p><br /><span style="color: rgb(102, 51, 102);">Karena itulah laluan keindahan</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="color: rgb(51, 255, 255); font-weight: bold;font-size:78%;" ><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Jejak itu melakar kenangan<o:p></o:p><br />Mencipta memori mewarnai kehidupan<o:p></o:p><br />Jejak itu menggapai suatu kejayaan<o:p></o:p></span></span><br /><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; font-family: "Arial Narrow";"><span style="color: rgb(51, 255, 255); font-weight: bold;font-size:100%;" ><span style="font-family: georgia;">Jejak itu akhirnya bertemu keredhaan.....</span></span><o:p></o:p></span></p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-43203922778086166612009-04-25T00:52:00.000-07:002009-04-25T04:28:04.019-07:00scedule pelantikan mushalla az zhilal<p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size:14;"><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 204, 0);">Pelantikan Pengurus Mushalla Az-Zhilal Periode 2009/2010</span><o:p style="font-weight: bold; color: rgb(51, 204, 0);"></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(51, 204, 0);" align="center"><span style="font-size:14;">Minggu, 26 April 2009 Ruang Sidang Fakultas Ushuluddin<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(51, 204, 0);" align="center"><span style="font-size:14;">“<i>kearah kepemimpinan yang proaktif menyalakan semangat keberislaman</i></span><i>”</i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">A.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Pendahuluan </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada akhirul Anbiya Muhammad saw pembawa risalah tauhid dan menyebarkan nya dibumi ini kepada seluruh manusia untuk berislam.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Kondisi obyektif kampus terutama Ushuluddin memaksa masing-masing lembaga kemahasiswaaan selama ini berkembang dengan pola sendiri-sendiri, sesuai dengan visi dan misi yang semula telah disepakati oleh orang-orang yang dalam hal ini adalah mahasiswa-mahasiswa terpilih<span style=""> </span>yang berinteraksi didalamnya. Pola ini kemudian yang membuat warna baru lingkungan kampus akan keberagamannya aktivitas mahasiswa yang tujuannya adalah menjalankan dan mengejawantahkan tridharma perguruan tinggi .</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Meski begitu walaupun telah hadir berbagai lembaga kemahasiswaan guna memenuhi kehausan Mahasiswa untuk menyalurkan bakat dan minatnya, masih ada juga masalah-masalah yang dihadapi ditengah perjalanan menjalankan visi dan misi kelembagaan tersebut, akhirnya dengan hadirnya masalah-masalah tersebut meyebabkan lembaga kemahasiswaan lebih<span style=""> </span>mengarahkan perhatiannya kepada kondisi yang dihadapi dikelembagaannya untuk mencari jalan keluar, sehingga sukses di akhir kepengurusan. Keadaan ini berekibat melemahnya kekuatan dan kurang perhatiannya pada kebersamaaan gerak dakwah baik local maupun Global.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu koordinasi dalam mengembalikan agenda dakwah tersebut. Berangkat dari sini Mushalla Az-Zhilal adalah salah satu lembaga yang yang selama ini bergerak aktif dalam pencapaian tujuan tersebut. Dengan begitu diperlukan pengurus yang siap menjalankan sekaligus menyalakan semangat dakwah untuk berislam dalam hal <i>amar ma’ruf nahi mungkar, </i>sehingga pelantikan pengurus dirasa sangat perlu, guna timbulnya dan untuk melahirkan generasi-generasi baru.<i><o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">B.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Tema Kegiatan </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">Kegiatan ini bertemakan “<i>kearah kepemimpinan yang proaktif menyalakan semangat keberislaman”</i> </p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">C.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Waktu dan Tempat </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">Kegiatan pelantikan ini InsyaAllah dilaksanakan pada hari Minggu, 26 April 2009 di Ruang sidang Fak. Ushuluddin</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">D.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Peserta Kegiatan</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">Peserta kegiatan adalah kader Az-Zhilal, Mahasiswa Ushuluddin, Undangan BEMAF, HMJ, MPMF dan lembaga kemahasiswaan lainnya. </p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">E.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Bentuk Kegiatan </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">Bentuk kegiatan adalah pelantikan dilanjutkan dengan kajian ( akan dirincikan ) dan UPGRADING ( khusus untuk pengurus yang baru dilantik )</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">F.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Schedule Acara</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">a.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr"><span class="CharChar"><span style="font-size:13;">Pelantikan </span></span><span style=""> </span>( 08.30-09.30 wib )</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Taujih Rabbani oleh akh Edi</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Sambutan ketua panitia oleh akhi Muhammad Taufiq Al Barra<br /></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Pembacaan SK Pengurus Mushalla Az-Zhilal periode 2009/2010 oleh Sekjen Bemaf saudara Sudirman</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Pelantikan Pengurus oleh Bapak Dekan Fak. Ushuluddin</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Sambutan Rais ‘Amm lama oleh Akhi Syah Reza</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Sambutan Gubernur Fak. Ushuluddin oleh Akhi Miswar</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Sambutan sekaligus harapan oleh Bapak Dekan Fak. Ushuluddin</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Do’a oleh akhi Fadhlullah</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">b.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr"><span class="CharChar"><span style="font-size:13;">Kajian </span></span>( 09.30-12.30 wib )</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">1.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Materi I tentang leadership “<i>konsep organisasi yang Ideal</i>” oleh Bpk. Dekan Fak. Ushuluddin ( 09.30-10.30 wib )</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">2.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Nasyid dari <st1:place st="on"><st1:city st="on">Kawan-kawan</st1:city> <st1:country-region st="on">Malaysia</st1:country-region></st1:place></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">3.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Materi II tentang “<i>manajemen organisasi</i>” oleh Team PUSKOMDA ( 10.30-12.30 wib )</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;"><span class="CharChar1"><span style="font-size:14;">Ishoma </span></span>( 12.30-14.00 wib )</p> <p class="NoSpacing" style="margin-left: 0.25in; text-indent: 0.5in;"><span style="">UPGRADING coordinator Syah Reza</span><span style=""> ( 14.00-16.00 wib )<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify;">Bagian ini khusus untuk pengurus yang baru dilantik untuk menjelaskan tugas dan peran dalam masing-masing Bidang : Kaderisasi, PPSDM, Kestari, Muslimah, dan Humas.</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!--[if !supportLists]--><span style="">G.<span style=""> </span></span><!--[endif]--><span dir="ltr">Penutup </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">Demikianlah agenda yang ingin dilaksanakan semoga kiranya dapat terlaksana secara maksimal, bantuan sangat diharapkan kepada semua pihak demi terselenggaranya kegiatan ini, baik berupa sumbangan tenaga, moril juga pikiran. Akhirul kalam kepada Allah jualah tempat bersandar. Jazakallahukhairan, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <div align="center"> <table class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; width: 544px; height: 271px;" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 221.3pt;" valign="top" width="295"> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Muhammad Taufiq Al Barra</p> <p class="MsoNormal">ketua</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> </td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 221.5pt;" valign="top" width="295"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">Darussalam, 20 April 2009</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">Panitia Pelaksana Pelantikan</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">Pengurus Musholla Az-Zhilal</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">Periode 2009/2010</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">Hijra Saputra</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">Sektretaris</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span></p> </td> </tr> </tbody></table> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><o:p> </o:p></p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-1749573032737305412009-04-23T10:28:00.000-07:002009-04-23T10:30:30.834-07:00Tadzkirah....<p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span class="hcp2"><b><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%; font-family: Georgia;"><span style="color: rgb(0, 102, 0);">HAKIKAT KEPEMIMPINAN</span><o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="hcp2"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%; font-family: Georgia;">Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat (HR. Ahmad).</span></span><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%; font-family: Georgia; color: black;"><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Di dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam shalat berjamaah, imam berarti orang yang didepan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran. </span></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan Islam, pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar dalam lima lingkup.</span></span><br /><br /><span class="hcp2"><b><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">1. Tanggung Jawab, Bukan Keistimewaan.</span></b></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,. Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. </span></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Oleh karena itu, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang cemerlang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang tiodak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu (HR. Bukhari dan Muslim)</span></span><br /><br /><span class="hcp2"><b><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas</span></b></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Karenanya dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.</span></span><br /><br /><span class="hcp2"><b><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">3. Kerja Keras, Bukan Santai.</span></b></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme. </span></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Saat menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya. Meskipun sore hari ia sudah menerima laporan tentang pembagian yang merata, pada malam hari, saat masyarakat sudah mulai tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung, Umar mendapati masih ada rakyatnya yang masuk batu sekedar untuk memberi harapan kepada anaknya yang menangis karena lapar akan kemungkinan mendapatkan makanan. Meskipun malam sudah semakin larut, Umar pulang ke rumahnya dan ternyata ia memanggul sendiri satu karung bahan makanan untuk diberikan kepada rakyatnya yang belum memperolehnya. </span></span><br /><br /><span class="hcp2"><b><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">4. Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.</span></b></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Na’im)</span></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani).</span></span><br /><br /><span class="hcp2"><b><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.</span></b></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran. </span></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw tunjukkan keteladanan dan kepeloporan dalam banyak peristiwa. Ketika Rasulullah Saw membangun masjid Nabawi di Madinah bersama para sahabatnya, beliau tidak hanya menyuruh dan mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan sehingga ketika para sahabat yang lebih muda dari beliau sudah mulai lelah dan beristirahat, Rasul masih terus saja membawanya meskipun ia juga nampak lelah. Karena itu seorang sahabat bermaksud mengambil batu yang dibawa oleh nabi agar ia yang membawanya, tapi nabi justeru menyatakan: “kalau kamu mau membawa batu bata, disana masih banyak batu yang bisa engkau bawa, yang ini biar tetap aku yang membawanya”. Karenanya para sahabat tetap dan terus bersemangat dalam proses penyelesaian pembangunan masjid Nabawi.</span></span><br /><br /><span class="hcp2"><span style="line-height: 115%; font-family: Georgia;">Dari penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumah tanggai, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin.</span></span></span><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%; font-family: Georgia;"><o:p></o:p></span></p>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3242939952741884104.post-12431981192604982542009-04-23T10:03:00.000-07:002009-04-23T10:09:20.807-07:00Sekilas Tentang Mushalla Az Zhilal<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDWk1WKrQsAyTWNqj2_V6SQRTRH06XF_g7CmLmjHYZw8Z8QlGpUlPbmidYzX_cYxcJSvTmP0AorPudTyx9cfvBr2H9Crju3-BDQeqHQ1J_shzZzhUNjztfcxA6EmvhkqXj91ZjbfrBWgY/s1600-h/masjidilharam4.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDWk1WKrQsAyTWNqj2_V6SQRTRH06XF_g7CmLmjHYZw8Z8QlGpUlPbmidYzX_cYxcJSvTmP0AorPudTyx9cfvBr2H9Crju3-BDQeqHQ1J_shzZzhUNjztfcxA6EmvhkqXj91ZjbfrBWgY/s320/masjidilharam4.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5327934792422432962" border="0" /></a><br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%; font-weight: bold; color: rgb(0, 0, 102);">SEKILAS TENTANG MUSHALLA AZ ZHILAL</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style=""> </span>Kondisi kampus ushuluddin dari hari ke hari menunjukkan adanya pergeseran pola pikir. Kegairahan mahasiswa akan pemikiran filsafat cenderung mendorong mahasiswa untuk berpikir, berbicara dan bertindak kerap keluar dari bingkai syari’at islam.<br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"> Kondisi ini di perparah oleh semakin banyaknya dijajakan pemikiran-pemikiran yang sama sekali tidak berakar dari syari’at islam. AQIDAH DIGUNCANG; itulah kata yang paling tepat untuk kami gambarkan. Disamping itu kondisi Ushuludin di atas. Kampus yang menyandang nama Institut Agama Islam Negeri ini mengikuti jejak para pendahulunya seperti : UIN Syarif Hidayatullah, IAIN Sunan Kali Jaga dsb, seperti digiring menuju arah sekularisasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan ktifitas dari civitas akademika yang menyampaikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial mereka. Disamping itu, juga dalam menyikapi berbagai persoalan-persoalan, syari’at islam menjadi pertimbangan yang ke sekian bukan yang pertama dan utama.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style=""> </span><span style=""> </span> Menyikapi kondisi ini, mushalla Az Zhilal mencoba ber fastabiqul khoirot untuk membentengi dan mengubah pola piker civitas akademika menuju nilai-nilai islam yang kaffah. Oleh karena itu bantuan donator untuk menyukseskan program mushalla Az Zhilal sangat diharapkan karena selama ini tidak ada anggaran khusus untuk mendukung program-program mushalla Az Zhilal. Berbeda halnya dengan gerakan-gerakan lainnya yang mencoba merusak pola pikir mahasiswa, mereka mempunyai dana yang sangat besar karena di tunjang oleh donator-donatur dari luar.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center">Dan dengan lantang kami teriakkan</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%; font-weight: bold; color: rgb(0, 102, 0);" align="center">“KAMI MENTOLERIR PERBEDAAN TAPI KAMI TIDAK </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%; font-weight: bold; color: rgb(0, 102, 0);" align="center">MENTOLERIR PEYIMPANGAN”</p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; font-weight: bold;">SEJARAH MUSHALLA AZ ZHILAL :</p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style=""> </span> Mushalla Az Zhilal fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry merupakan sebuah organisasi da’wah yang mengkhususkan diri pada bidang aqidah, pemikiran, studi qur’an dan hadits, counter liberalisme, aliran-aliran keagamaan dan harakah. Pada awalnya, mushalla Az Zhilal merupakan sekelompok kajian atau diskusi atau keislaman mahasiswa/I fakultas Ushuluddin yang kemudian merasa urgen atau pentingnya berdiri dalam satu organisasi yang teratur.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style=""> </span> Akhirnya, niat tersebut disampaikan kepada pihak dekanan fakultas Ushuluddin yang menyambut baik berdirinya mushalla Az Zhilal. Nama Az Zhilal sendiri yang berarti “NAUNGAN” menjadi harapan para pendiri agar hendaknya da’wah Az Zhilal menuju kepada da’wah qur’ani.</p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; font-weight: bold;">Visi Mushalla Az Zhilial</p> <ul style="margin-top: 0in;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Aplikasi nilai-nilai islam di kampus dan sekitarnya.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Amar ma’ruf nahi munkar.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Mengembangkan kerja sama, koordinasi, komunikasi, integrasi dan persaudaraan antar seluruh elemen mahasiswa IAIN.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian masalah-masalah di kampus IAIN.</li></ul> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; font-weight: bold;">Misi Mushalla Az Zhilal</p> <ul style="margin-top: 0in;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Menjadi unsur perekat kesatuan gerakan mahasiswa.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Menjadi wadah da’wah dilingkungan kampus.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Melakukan program pengembangan SDM dan kaderisasi yang lebih terstruktur, terkontrol agar terbentuk pribadi-pribadi muslim yang selaras dengan Al-Qur’an dan As Sunnah.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Melakukan amal khadami (pelayanan) kepada segenap civitas akademika.</li></ul> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; font-weight: bold;">Karakteristik Mushalla Az Zhilal</p> <ul style="margin-top: 0in;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Siddiq, berkomitmen teguh untuk menjadikan Al-Qur’an dan As Sunnah sebagai indicator kebenaran</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Tabligh, berkomitmen untuk menyampaikan kebenaran pada siapapun dan dimana pun.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Amanah, berkomitmen untuk mengemban tugas dan risalah kenabian hingga akhir hayat sebagai bentuk amanah manusia di muka bumi.</li><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">Fathanah, berkomitmen untuk menyampaikan kebenaran dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.</li></ul>Mushalla Az-Zhilalhttp://www.blogger.com/profile/05639951060325671145noreply@blogger.com0